Description
Buku yang hadir di hadapan anda ini merupakan hasil riset penulis, terkait hubungan tradisi ngenger, komunikasi antar budaya dan transformasi ideologi. Penelitian dilakukan di dusun Tempurrejo, Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi dan Desa Grogol, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Pada tahun 1960an sampai 1980an banyak anak-anak muda berasal dari Ponorogo yang ngenger di Ngawi, Jawa Timur.
Dalam tradisi ngenger, terjadi benturan kebudayaan yang berbeda. Budaya priyayi yang memiliki strata sosial tinggi berhadapan dengan masyarakat dengan strata sosial rendah. Sebuah proses yang tidak mudah bagi pelaku ngenger, mereka dihadapkan pada tekanan psikologis yang berat. Mereka harus jauh dari keluarga, bertahan dalam tekanan pekerjaan yang berat dan melelahkan serta tekanan psikologis mengingat asalnya dari golongan tidak mampu. Di sisi lain anak-anak pelaku ngenger bertemu dengan sesuatu yang baru. Yaitu baru dalam konteks geografis, sosiologis, dan budaya. Mereka bertemu dengan keluarga yang baru mereka kenal, cara hidup, dan bermasyarakat yang baru bahkan juga keadaan lingkungan yang baru. Mereka diharuskan beradaptasi dan bersosialisasi serta membiasakan diri dengan hal-hal yang baru tersebut. Munculnya culture shock atau gengar budaya. Yaitu situasi seseorang tertekan, takut, cemas maupun kawatir karena bertemu dengan sebuah kebudayaan atau situasi yang baru. Budaya feodal “etnosentrisme” masyarakat ditahun 1960an-1980an menambah kompleksitas dalam interaksi sosial.
Sebagian isi buku ini pernah dipublikasikan di Jurnal of Social Studies yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Yogyakarta Vol 17, No 1 (2021) dengan judul “Ngenger tradition and ideology transformation in inter-cultural communication”. Agar cakupan dan segmen pembaca terkait antropologi komunikasi menjadi semakin luas, maka penulis merasa akan lebih baik jika hasil penelitian tersebut juga dipublikasikan dalam bentuk buku. Dengan berbagai tambahan tulisan, buku ini mencoba ingin mengungkap. Pertama, anak-anak yang ngenger di Ngawi berasal dari Ponorogo tersebut bertahun-tahun ikut orang. Apa saja yang membuat mereka merasa nyaman disana. Tentu ada cara-cara yang mereka lakukan untuk mengatasi culture shock dan etnosentrisme dari lingkungan sekitar. Kedua, mengungkap hambatan komunikasi antar budaya yang dilakukan oleh anak-anak dalam tradisi ngenger di Ngawi. Kemudian akan diungkap pula bagaimana mereka mengatasi hambatan-hambatan komunikasi antar budaya tersebut. Ketiga, proses penanaman ideologi Muhammadiyah atau strategi perkaderan yang dilakukan kepada anak-anak yang selama ini mengikuti tradisi ngenger di Ngawi. Hal ini penting diungkap mengingat dikemudian hari terjadi perubahan ideologi yang dianut selama ini. Keempat, terjadinya transformasi ideologi. Semula berideologi NU dan abangan kemudian berpindah menjadi Muhammadiyah. Dalam konteks komunikasi antar budaya, perubahan sikap, perilaku maupun pandangan ideologi sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi yang dialaminya. Di mana di dalamnya ditemukan sesuatu yang baru sehingga membuatnya lebih nyaman atau menemukan kecocokan dengan sesuatu yang baru tersebut.
Buku ini merupakan hasil lima tahun penelitian penulis di Ngawi dan Ponorogo. Proses penelitian yang dituangkan menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma fenomenologi. Strategi penelitian dilakukan secara empiris, yang menyelidiki sebuah fenomena dalam kehidupan nyata dengan memanfaatkan berbagai sumber bukti, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “bagaimana dan mengapa”. Hal ini dikarenakan, studi dalam situasi ilmiah (naturalistic inquiry), menggunakan teknik analisis deduktif, kontak langsung periset dengan obyek, prespektifnya holistik dan dinamis, serta periset sebagai instrument kunci.
Sumber data meliputi orang dan dokumen. Informan yang dipilih dengan teknik maksimum variance, yaitu yang mewakili berbagai kategori. Mereka dipilih dari kalangan yang mengetahui, terlibat, dan terkena budaya ngenger, di antaranya sebagai berikut: Pelaku tradisi ngenger, Induk semang, tokoh masyarakat Tempurrejo Ngawi yang mengetahui proses ngenger, pemimpin lembaga tempat pendidikan pelaku ngenger. Selain itu juga perlu data-data dalam bentuk dokumen, seperti foto, surat-surat maupun dokumen lainya yang berkaitan dengan ngenger. Para narasumber digali dengan wawancara mendalam.
Sistematika penulisan buku ini dibagi menjadi tujuh pokok bahasan. Diawal diulas mengenai tradisi ngenger dalam komunikasi antar budaya. Pembahasan awal ini dilakukan untuk mengetahui batasan konsep dan berbagai macam literatur kajian ngenger. Selanjutnya, sosiologis antropologis tradisi ngenger yang meliputi sejarah perguruan Muhammadiyah Tempurrejo, latar belakang terjadinya ngenger, proses dan aktivitas selama ngenger. Bab ke tiga disampaikan komunikasi antar budaya yang terjadi. Melingkupi culture shock dan etnosentrisme, serta cara mengatasi hambatan komunikasi antar budaya. Pokok bahasaan selanjutnya adalah tradisi ngenger dan transformasi ideologi, yang berisi proses kaderisasi “islam autentik” dana proses terjadinya transformasi ideologi. Selanjutnya dibahas ngenger dan perubahan sosial. Disini diuraikan mengenai sosiologis demografis desa asal para pelaku ngenger, latar belakang para tokoh-tokohnya dan sejarah berdirinya ranting Muhammadiyah Grogol. Dalam bab ke enam dijabarkan mengenai paradigma islam autentik yang membahas dinamika dan dialektika Muhammadiyah di akar rumput. Terahir, akan dibahas moderasi dan internalisasi islam autentik.